Sampaipada kesimpulan bahwa guru yang professional adalah guru yang memiliki visi yang tepat dan berbagai aksi inofatif. Karena visi tanpa aksi bagaikan sebuah impian. Aksi tanpa visi bagaikan perjalanan tanpa tujuan. 1. Guru dengan Visi yang Tepat Ada dua tinjauan konsep sederhana tentang visi. LIBURKAHBELAJAR MASA PANDEMI COVID-19 Bagaikan sebilah pisau yang memiliki dua sisi yang berbeda, pembelajaran secara online bagi sekolah yang siap adalah hal yang positif karena pembelajaran menjadi lebih kreatif karena guru dan peserta didik melakukan kegiatan belajar mengajar menggunakan teknologi mengasah wawasan luas tanpa motivasibelajar santri dalam meningkatkan motivasi anaknya diantaranya menjadikan kegiatan belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan, memiliki sikap yang bersungguh-sungguh, dan disiplin. 3). Peranan guru mengaji dalam meningkatkan motivasi belajar santri di TPA Al-Qalam Ereng-Ereng Kec. Tompobulu Kab. Fast Money. Belajarlah Agama pada Guru yang memiliki Sanad ilmu agama dari para ulama Dewasa ini perkembangan teknologi sangatlah pesat, diantaranya adalah digitalisasi media cetak maupun elektronik. Perkembangan teknologi ini mempermudah segala bidang kehidupan tak terkecuali bidang agama. Proses pembelajaran agama sekarang dipermudah dengan adanya software dan hardware seperti kitab – kitab elektronik baik kitab lampau klasik ataupun kontemporer, ditemukan pula berbagai perangkat elektronik seperti perangkat untuk belajar membaca Al-Qur’an, bahasa arab dsb. Dengan kemudahan – kemudahan ini masyarakat awam pun menjadi bersemangat dalam menggali dan mempelajari agamanya. Namun seiring berjalannya waktu ada sebagian masyarakat yang menjauhi majelis – majelis ilmu dan mengatakan bahwa belajar agama tak perlu lagi berguru lewat ulama Kyai, Ustadz dsb singkatnya mereka belajar secara otodidak. Lalu Bagaimana hukumnya belajar agama tidak berguru lewat ulama Kyai ? Karena saat ini banyak bertebaran Orang yang mengaku ustad yang hanya memperoleh ilmu agama dari Buku dan internet ..??? Belajar agama lewat guru Ulama/Kyai adalah wajib hukumnya, karena mempelajari ilmu tanpa adanya seorang guru maka orang tersebut akan ngawur dan berbuat semaunya sendiri. Di bawah ini kami kutip beberapa hadist Nabi SAW dan pendapat ulama tentang pentingnya seorang guru. Telah bercerita kepada kami Abu Ashim adl-Dlahhak bin Makhlad telah mengabarkan kepada kami Al Auza’i telah bercerita kepada kami Hassan bin Athiyyah dari Abi Kabsyah dari Abdullah bin Amru bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah apa yang kalian dengar dari Bani Isra’il dan itu tidak apa dosa. Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” HR Bukhari 3202 Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh didengar dari guru-guru sebelumnya disampaikan secara turun temurun sampai kepada rasulullah saw. Kita tidak diperkenankan menyampaikan akal pikiran kita semata. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. HR. Ahmad Dari Ibnu Abbas berkata Rasulullah saw bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” Hadits riwayat Ath-Thabarani Pendapat ulama’ وَلاَبُدَ فِى سُلُوْكِ طَرِيْقِ الْحَقِّ مِنْ اِرْشَادِ اُسْتَاذٍ حَاذِقٍ وَتَسْلِيْكِ شَيْخٍ كَامِلٍ مُكَمَّلٍ حَتَّى تَظْهَرُ حَقِيْقَةِ التَّوْحِيْدِ بِتَغْلِيْبِ الْقَوِى الرُّحَانِيَةِ عَلَى اْلقَوِىِّ الْجِسْمَانِيَّةِ Diwajibkan bagi orang yang mencari jalan yang benar belajar agama untuk mencari seorang guru yang benar, dan di bawah arahan guru yang sempurna dan bisa menyempurnakan sehingga bisa menghantarkan kepada hakikatnya keyakinan dengan mengedepankan kekuatan ruhani mengalahkan kekuatan jasmani akal fikiran Tafsir haqqi, juz 15, hal 13 وقال الشيخ أَبُوْ عَلِىّ الدَّقَاقِ لَوْ أَنَّ رَجُلاً يُوْحَى إِلَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ لاَ يَجِيْئُ مِنْهُ مِنَ اْلأَسْرَارِ Syeh Abu Ali al-Daqoq berkata seandainya seseorang diberi petunjuk dan baginya tidak memiliki guru maka jangan berharap akan muncul baginya asror rahasia yang benar dari kebenaran ilmu tersebut. فَعَلَى قَارِئَ اْلقُرآنِ اَنْ يَأْخُذَ قِرَائَتُهُ عَلَى طَرِيْقِ التَّلَقِّى وَ اْلإِسْنَادِ عَنِ الشُّيُوْخِ اْلآخِذِيْنَ عَنْ شُيُوْخِهِمْ كَى يَصِلَ اِلَى تَأْكِدٍ مِنْ أَنَّ تِلاَوَتَهُ تُطَابِقُ مَا جَاءَ عَنِ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه و سلم Bagi orang yang belajar membaca al-Qur’an disyaratkan untuk belajar cara membaca dari guru yang guru tersebut mendapat ajaran dari gurunya, agar kebenaran dari bacaan tersebut sesuai dengan apa yang di ajarkan rasulullah saw. Haqqu al-Tilawaah, hal 46 Apakah yang dimaksud dengan sanad dan sebatas manakah pentingnya sanad guru Kyai, Ulama ? Sanad adalah silsilah atau mata rantai yang menyambungkan kita dengan sebelum kita, jadi sanad adalah hubungan. Kalau secara bahasa sanad adalah sesuatu yang terkait kepada sesuatu yang lain atau sesuatu yang bertumpu pada sesuatu yang lain, tapi didalam makna ini secara istilah adalah bersambungnya ikatan bathin kita, bersambungnya ikatan perkenalan kita dengan orang lain, sebagian besar adalah guru-guru kita. Sanad ilmu / sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits. Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/ redaksi hadits dari lisan Rasulullah Sedangkan sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah. Demikian juga dengan sanad seorang guru agama, sama pentingnya karena sebagai pertanggung jawaban ilmu yang di ajarkan dan orisinalitas ilmu. Untuk lebih jelasnya di bawah ini kami kutip beberapa hadist Nabi saw dan pendapat Ulama’ tentang begitu pentingnya sanad. …. عن عبدَ الله بن المبارك يقول الإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ وَلَوْلاَ اْلإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ Ibnul Mubarak berkata ”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no32 Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah saw bersabda… ”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Tiada ilmu tanpa sanad”. Al-Hafidh Imam Attsauri rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga” Al-Imam Abu Yazid Al-Bustami; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203 Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah saw. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“ Dan sebagai penjelasan terakhir mari kita renungi bersama sama apa yang di sampaikan Habib mundzir al-Musyawa “Sanad adalah bagai rantai emas terkuat yang tak bisa diputus dunia dan akhirat, jika bergerak satu mata rantai maka bergerak seluruh mata rantai hingga ujungnya, yaitu Rasulullah saw”. “Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur, jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya, maka oleh sebab itu guru tetap penting. Jadi tidak boleh hanya membaca dari buku, tentunya boleh baca buku apa saja, namun kita harus mempunyai satu guru yang kita bisa tanya jika kita sedang mendapatkan masalah”. Di zaman digital saat ini informasi belajar bisa diakses dengan mudah. Saat ini belajar bisa di mana saja dan kapan saja. setiap individu tidak lagi dibatasi ruang dan waktu dalam belajar. Mudahnya dalam belajar saat ini banyak orang belajar otodidak atau belajar tanpa guru. Perlu dicatat dalam belajar meskipun online harus memiliki guru. Dalam menuntut ilmu agama, mencari guru pun tidak sembarangan tapi harus tsiqah terpercaya, keilmuannya bisa dapat dipertanggung jawabkan, sanadnya bersambung hingga Rasullah. Abdullah bin Mubarak berkata, Rasulullah Shalallahu alaihi Wassalam bersabda إن الإسناد من الدين، ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء Maknanya “Sanad itu bagian dari agama, jika tidak ada sanad, maka siapa saja bisa berkata apa yang dikehendakinya” [HR. Muslim]. Sanad adalah silsilah keilmuan. Imam Asy Syafi’i mengatakan “Orang yang belajar ilmu tanpa guru dan sanad bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” Faidhul Qadir juz 1 hal 433 Bahkan Al Imam Abu Yazid Al Bustamiy berkata “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan.”. Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203 Jadi sangatlah bahaya sekali ketika belajar tanpa guru. Sebagaimana kisah yang diceritakan oleh Imam Abu Hayyan al Andalusi; salah seorang Imam ahli Tafsir, penulis Tafsir al-Bahr al-Muhith, dalam untaian bait-bait syair-nya menuliskan sebagai berikut “Orang lalai mengira bahwa kitab-kitab dapat memberikan petunjuk kepada orang bodoh untuk meraih ilmu. Padahal orang bodoh tidak tahu bahwa dalam kitab-kitab tersebut ada banyak pemahaman-pemahaman sulit yang telah membingungkan orang yang pintar. Jika engkau menginginkan meraih ilmu dengan tanpa guru maka engkau akan sesat dari jalan yang lurus. Segala perkara akan menjadi rancu atas dirimu, hingga engkau bisa jadi lebih sesat dari orang yang bernama Tuma al-Hakim.” Tuma al-Hakim adalah seorang yang belajar tanpa guru dalam memahami hadits. Suatu hari ia mendapati hadits shahih, redaksi asli hadits tersebut adalah; “al-Habbah as-Sawda’ Syifa’ Likulli Da“. Namun Tuma al-Hakim mendapati huruf ba’ pada kata al-habbah dengan dua titik; menjadi ya’, karena kemungkinan salah cetak atau lainnya, maka ia membacanya menjadi al-Hayyah as-Sawda’. Tentu maknanya berubah total, semula makna yang benar adalah “Habbah Sawda’ jintan hitam adalah obat dari segala penyakit”, berubah drastis menjadi “Ular hitam adalah obat bagi segala penyakit”. Akhirnya, Tuma al-Hakim mati karena “kebodohannya”, mati terkena bisa ular ganas yang ia anggapnya sebagai obat. Itulah bahaya yang disebabkan belajar tanpa guru. Dalam hal keduniawian saja memerlukan guru dalam belajar agar murid dapat memahaminya dengan baik dan benar. Oleh karenanya meskipun saat ini ilmu bertebaran luas di internet ataupun di buku-buku maka hendaknya seseorang tersebut harus memiliki guru, jika ada yang tidak paham bisa langsung bertanya kepada gurunya, bukan memahami dengan sendirinya. Terlebih lagi belajar mengenal Tuhan harus memerlukan seorang mursyid guru yang sempurna serta terpercaya dan mampu menyempurnakan agar tidak tersesat. Arip loading...Ustaz Miftah el-Banjary, Dai yang juga pakar ilmu linguistik Arab dan Tafsir Al-Quran asal Banjar Kalimantan Selatan. Foto/Ist Ustaz Miftah el-BanjaryPakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'anPepatah Arab mengatakan, "Wa innamal 'ilmu bitta'allum. Ilmu itu harus berguru." Pepatah ini sudah menjadi pakem bagi siapa saja yang ingin alim, ingin berilmu , harus berguru. Sebab ilmu tidak akan hasil sempurna kecuali memiliki seorang guru, seorang ini banyak orang yang merasa berilmu hanya dengan membaca artikel di Google, belajar agama di Youtube, berguru di media sosial. Lalu merasa lebih berilmu dari orang yang duduk puluhan tahun membaca kitab di hadapan seorang guru. Baca Juga Al-Qur'an menegaskanهَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ"Tidak akan pernah sama orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu pengetahuan..." QS az-Zumar Ayat 9Menguasai keilmuan agama yang layak disebut alim itu tidak semudah membuka website dan PDF atau membaca buku-buku terjemahan. Perlu puluhan tahun menghapal matan-matan kitab kuning. Tanya saja para tuan guru, kiyai, ustaz-ustaz pesantren itu bagaimana perjuangan mereka. Ironisnya, ada orang belum pernah baca kitab, belum punya sanad keilmuan, mengklaim anti mazhab, anti fatwa, anti maulid, anti tahlil, anti bid'ah, anti ziarah kubur sebagainya. Bahkan, sekiranya dipaparkan pendapat para imam semisal Imam Suyuthi, Imam Ibn Hajar al-Asqalani, Imam Nawawi, para ulama terdahulu yang tidak diragukan lagi hujjah serta pemahaman mereka terhadap teks-teks Al-Qur'an dan hadits, mereka menolak disebabkan kejahilannya. Ada baiknya tidak saling menuding dan menyalahkan selama persoalan itu masih dalam perdebatan para ulama. Tentu, setiap perdebatan para ulama terkait persoalan khilafiyyah bukan menjadi ranah orang awam ikut mencela serta membid'ahkannya, bukan?Sayangnya, para penuntut ilmu bermazhab Googliyyah ini, seringkali ketika diminta menjelaskan karya para ulama dari literatur klasik Arab gundul, tanpa harakat kebanyakan mingkem, tidak mampu menjelaskan dengan berbagai alasan. Bahkan tidak tahu apa itu ilmu Nahwu dan Sharaf, Manthiq, Balaghah, Dilalah belum dipelajari, apalagi dikuasai. Sebuah dalil itu tidak ujug-ujug ada begitu saja. Tidak cukup melahirkan sebuah pendalilan dari terjemahannya Al-Qur'an semata. Terjemahan itu hanya alih bahasa untuk mendekatkan pemahaman, bukan makna hakiki. Prosesnya panjang. Baca Juga 15 Ilmu Ini Harus Dikuasai Jika Ingin Menafsirkan Al-Qur'anUntuk mengetahui sebuah makna suatu kata, perlu mempelajari dahulu ilmu Dilalah atau ilmu semantik Arab. Untuk mengetahui makna dilalah, harus masuk dulu pada analisa dilalah mu'jamiyyah semantik makna kamus, baru dilalah nahwiyyah, sharfiyyahhinggasiyaqiyyah. Kebetulan ini bidang kajian saya dan saya mengajarkan kata Quru dalam Al-Qur'an dia bermakna ganda. Quru bisa berarti suci, Quru bisa berarti haid. Maknanya mengandung ambigiutas. Sama kata "Kafara" bisa bermakna keluar dari iman, bisa juga menghapuskan pemaknaan secara semantik yang beragam ini nanti akan memunculkan berbagai intepretasi dan tafsiran dari berbagai para mufasir. Maka oleh karena itu, mengapa ada banyak ragam kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh para ulama kita sejak abad pertama, pertengahan hingga modern ini. Fenomena ini tidak pernah sunyi dan menentukan sebuah pendalilan yang melahirkan istinbath/ketetapan hukum juga tidak sederhana. Seseorang perlu memahami apa itu istilah Ushuli, seperti Am, Khas, Muaqayyad, Muthlak, Sharih, Mujmal, dan lain pula dalam pendalilan dari sebuah hadis, perlu memahami dan menguasai, apa itu istilah Asbabul Wurud, Tarajim, Rijalul Hadits, Tsiqqah, Mudallas, Mardud, dan sebagainya. Baca Juga Para Fuqaha membagi dasar hukum syariat itu hanya ada pada landasan Halal, Haram, Wajib, Sunnah, Makruh, Mubah. Tidak ada kategori hukum itu dikenal istilah hukum Bid'ah. Tidak ada dalam literatur Fiqh seperti demikian itu. Silakan dikaji dan jika hanya sebatas berguru di internet, ya percaya saja dengan ulama yang sudah diketahui kapasitas keilmuannya dimana, dengan siapa dia berguru, di institusi mana dia belajar, seperti apa dan bagaimana cari yang jelas-jelas sedikit-dikit orang yang berpenampilan ustaz, lantas dengan mudahnya dipanggil dan dianggap ustaz, lihat dulu bacaan Qur'annya, pemahaman ilmu fiqihnya. Jangan mudah melabeli seseorang ustaz, kasihan kalau tidak mumpuni bisa terjebak pada label itu. Nanti justru menyesatkan berfatwa tanpa didasari keilmuan. Apalagi tentang pengetahuan agama yang membawa keselamatan dunia dan akhirat. Karena itu, perlunya memiliki guru dan sanad keilmuan . Baca Juga Wallahu A'lamrhs

belajar tanpa guru bagaikan